·
Mengapa warga Indonesia memilih golput?
Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata
golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor
dan alasan. Fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama
tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang.
Golput tidak
hanya terjadi penyelenggaraan pemilu. Biasanya mereka tidak datang ke tempat
pemungutan suara dalam
pemilu legislatif. Dalam perhelatan politik di tingkat lokal seperti
pemiliphan umum kepala daerah (pemilukada) gejala golput juga terjadi.
Istilah
golput muncul ertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971.
Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius
Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan
bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak
(Fadillah Putra ;2 ; 003104)
Golput
menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya
merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan
bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem
kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan
pemilu.
sekarang, apa penyebab sehingga seseorang menjadi golput?
Berikut beberapa alasan munculnya aksi golput tersebut :
- Pertama. Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
- Kedua. Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
- Ketiga. Golput politis, yakni mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan.
- Keempat. Golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Namun hal
yang mendasar mengapa warga negara cenderung lebih banyak untuk Golput adalah
karena sudah jenuh dengan perilaku elit parpol yang memuakkan dan
“menjijikkan”. Kebanyakan mereka menjadi Caleg karena hanya ingin mendapatkan
mata pencaharian yang besar. Namun ketika sudah digaji tinggi oleh negara,
mereka malah merampok dan melahap uang rakyat pula. Dan kondisi inilah salah
satunya yang belum dibenahi oleh para parpol.
Warga negara
banyak memilih untuk Golput karena sampai detik ini mereka juga belum melihat
adanya parpol yang yang bisa dipercaya, semuanya sama, yakni sama-sama hanya
membutuhkan rakyat, memuja rakyat, menyanjung rakyat, mencintai rakyat, memberi
uang ke rakyat hanya pada saat kampanye karena berharap kemenangan untuk
kekuasaan dan memperkaya kelompok masing-masing. Sesudahnya, rakyat diabaikan,
dibiarkan susah, bahkan ditindas.
Golput nampaknya bisa tampil sebagai pemenang pada Pemilu Pileg, dan ini bisa sangat “positif” jika memang terwujud, yakni untuk perubahan mendasar. Artinya, ketika pada Pileg angka Golput jumlahnya sangat banyak, maka di saat itu para parpol sudah pasti merasa terpukul, yang selanjutnya akan harus sangat hati-hati menetapkan pasangan Capres untuk dimajukan pada Pilpres.
Jika parpol tidak mempertimbangkan “kemenangan” Golput pada Pileg, dan hanya mengikuti selera sendiri, yakni dengan seenaknya menetapkan pasangan capres menurut keinginan sendiri atas dasar popularitas (bukan pada kapabelitas/keahlian, intelektual), atau menunjuk pasangan Capres yang tak mampu menyelesaikan masalah-masalah negara tetapi tetap dipaksakan karena mungkin bisa diatur-atur nantinya (sebagai boneka), maka kesuksesan Pemilu (Pileg dan Pilpres) kali ini sangat memungkinkan terancam dimenangkan secara total oleh Golput, alias hasil Pemilu tidak berkualitas. Kalau sudah begitu, maka negara ini hanya berjalan bagai kendaraan di atas roda yang sangat kempis. Semoga tidaklah demikian.
· Pengaruh globalisasi terhadap
identitas nasional?
Pengaruh tersebut meliputi dua sisi, yaitu pengaruh positif dan pengaruh
negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan
politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain-lain akan mempengaruhi
kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat di Indonesia. Pengaruh itu dapat
dilihat sebagai berikut. Pengaruh Positif dari Globalisasi terhadap Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara :- Globalisasi di bidang politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan dijalankan secara akuntabel, transparan dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa menjadikan rasa bangga terhadap Negara Indonesia menjadi meningkat.
- Globalisasi dalam bidang ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
- Globalisasi dalam bidang sosial budaya, dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal bangga kita terhadap bangsa.
- Globalisasi dalam dunia pendidikan, memberikan informasi tentang ilmu pengetahuan dari belahan bumi yang lain melalui internet maupun discovery televisi, sehingga pendidikan akan menjadi maju dan mampu bersaing dengan negara maju lainnya, karena ilmu/pengetahuan yang diperoleh hampir sama. Pengaruh Globalisasi Terhadap Pancasila Sebagai Identitas Nasional Sejak Negeri Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka. Pancasila telah digunakan sebagai dasar Negara dan identitas Nasional bagi masyarakat Indonesia. Dimana Pancasila harus bisa menjadi perekat perbedaan kultur yang terbangun dalam masyarakat plural dan menjadi identitas nasional yang bisa menjadi media dalam menjembatani perbedaan yang muncul di antara masyarakat Indonesia yang memiliki banyak perbedaan budaya, ras, agama dan suku. Sayangnya akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan dan teknologi (Globalisasi), eksistensi Pancasila sebagai identitas nasional tidak lagi difungsikan secara maksimal, Pancasila tidak lagi mewarnai setiap aktivitas yang berlangsung di tengah masyarakat. Pancasila bahkan tidak lagi ramai dipelajari oleh generasi muda.
REFERENSI